AUG 15, 2019@18:00 WIB | 1,432 Views
Industri otomotif menjadi "industri unggulan" di dalam negeri yang dinilai cukup baik memberikan efek positif karena disatu sisi ditopang dengan pembangunan infrastruktur yang mapan. Nilai positif tersebut berdasar tingkat penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi sebesar 1,2 juta karyawan, didukung nilai ekspor yang meningkat pula, dan pengaruh terhadap pertumbuhan GDP 1,76%.
Cukup penting menjaga magnet investasi dalam iklim bisnis di dunia otomotif karena mendorong pertumbuhan ekonomi. Industri otomotif menjadi top ten pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2018. Belakangan muncul investor baru yang ikut mendukung pertumbuhan manufaktur di Indonesia.
Pasar domestik tahun 2018 menyerap angka sales 1,151 juta unit, dengan total angka produksi mencapai 1,3 juta unit. Selisihnya lebih 200 ribu unit telah diserap untuk market ekspor. Angka tersebut beriringan dengan total kapasitas produksi mencapai 2,2 unit pertahun dan didominasi pasar MPV, SUV dan LCGC. Fokus industri masih ke kebutuhan dalam negeri, sedangkan ekspor masih cukup kecil, proyeksinya tahun 2025 Indonesia bakal mengekspor mobil sekitar 1 juta unit.
Pertanyaannya, seberapa besar serapan robot dalam sebuah manufaktur otomotif. Penggunaan robot lebih difokuskan sebagai upaya peningkatan keselamatan. Minimal Indonesia memiliki grand design seperti apa industri otomotif kita. "Industri otomotif bukan industri jangka pendek, namun harus mampu bertahan hingga 20-30 tahun kedepan," jelas Kukuh Kumara, Sekretaris Gaikindo di acara diskusi bertema Daya Saing Indonesia menuju Era Otomotif 4.0.
Menurutnya, penggunaan robot harus case by case. Hal itu mengingat tenaga kerja di Indonesia setingkat lebih bagus dari luar negeri, jika cost SDM masih menguntungkan secara kualitas, maka tidak serta-merta menggantikan robotik. Jika memang dibutuhkan percepatan produksi dengan kualitas bagus, maka penggunaan robot menjadi keharusan dengan shifting yang bagus tanpa mengesamping SDM yang ada.
Sedangkan menurut Agus T. Wirakusumah, pengawas PT. Inalum, mengungkapkan penggunaan robot sebagai bagian dari proses produksi masih cukup rendah. "Penggunaan teknologi robot masih cukup minim dalam industri manufaktur. Hal itu terlihat probabilitas dari 10000 karyawan yang terserap dalam sebuah manufaktur, penggunaan robot hanya 5 unit saja. Nilai ini cukup rendah dibanding dengan negara China yang sudah diangka 97 persen dan Korea yang sudah menggunakan 710 unit robot.
Namun dibalik fakta tersebut, beberapa manufaktur otomotif nasional yang sudah mengimplementasikan robot untuk kepentingan industri, salah satunya Astra Daihatsu Motor. "Penggunaan robot dan otomasi di manufaktur kami sudah menjadi keharusan. Hampir 300 unit di area proses produksi. Tentunya guna mendukung produktivitas dan menekan cost produksi serta efisiensi," tutur Andi dari Astra Daihatsu Motor.
Bila demand tinggi, sebuah manufaktur seperti Daihatsu, Toyota dan Honda menggunakan tenaga robotik digunakan saat produksi mencapai 500 unit perhari. Hal ini guna menjalin kualitas produk secara total. Beberapa pengerjaan seperti pemasangan sealer kaca, hemming process untuk bonnet, trunkid, dan pintu. Kemudian pemasangan engine part, pembuatan body, pemasangan instrumen panel serta pengecatan.
DFSK, salah satu brand baru di Indonesia yang telah menerapkan Industri 4.0. "Hampir 80% proses pengerjaan telah menggunakan robotik seperti assembling. Sedangkan peran SDM menjadi sangat penting untuk transfer knowledge melalui pelatihan, demi menjaga kualitas dan tingkat presisi sebuah produk," tutur salah satu perwakilan DFSK.
Di acara yang sama, hadir Sakari Kuikka, perwakilan General Manager dari Universal Robots (UR) yang berpusat di Denmark. Dalam presentasinya, Sakari mempresentasikan bagaimana UR+ sebuah lengan robot ringan yang disebut sebagai colloborative robot (Cobot) yang cukup mendukung otomatisasi produksi dalam semua produksi, termasuk bisnis kecil dan menengah. Lengan robot ini bisa diprogram ulang oleh developer program untuk membantu produksi dan sifatnya plug and play. [Ahs/timBX]